https://jurnal.ekadanta.org/index.php/sruti/issue/feed ŚRUTI: Jurnal Agama Hindu 2025-04-29T11:17:51+07:00 I Wayan wayantitragunawijaya@gmail.com Open Journal Systems <p>Jurnal yang memuat karya mengenai telaah ajaran agama Hindu, konten keagamaan yang nantinya sebagai sumber inspirasi dan referensi dalam upaya pengembangan kualitas umat Hindu di bidang intelektual, emosional, dan juga spiritual.&nbsp;</p> <p>E-ISSN: <a title="ISSN" href="http://issn.pdii.lipi.go.id/issn.cgi?daftar&amp;1607497428&amp;1&amp;&amp;" target="_blank" rel="noopener">2774-9169</a></p> https://jurnal.ekadanta.org/index.php/sruti/article/view/617 Konsep Ketuhanan Dalam Bhagavata Purana Dan Relevansinya Terhadap Teologi Hindu Di Bali 2025-04-08T20:36:07+07:00 Anak Agung Mayun Sariani anaksariani39@guru.smk.belajar.id <p>Artikel ini membahas konsep Ketuhanan dalam <em>Bhagavata Purana</em> serta relevansinya terhadap struktur teologi Hindu yang berkembang di Bali. <em>Bhagavata Purana</em>, sebagai salah satu Mahapurana yang berpengaruh dalam tradisi Vaishnava, menekankan ajaran bhakti sebagai jalan spiritual utama, dengan Krishna sebagai <em>Bhagavan</em> atau Tuhan personal tertinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan karakteristik Ketuhanan dalam <em>Bhagavata Purana</em>, serta menelaah bagaimana ajaran tersebut memiliki kesesuaian konseptual dan praksis dengan pemahaman umat Hindu Bali terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif berbasis studi pustaka, dengan analisis hermeneutik terhadap teks <em>Bhagavata Purana</em> dan kajian kontekstual terhadap praktik religius di Bali. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun <em>Bhagavata Purana</em> tidak menjadi rujukan utama dalam sistem keagamaan Bali, nilai-nilai bhakti yang dikandungnya—seperti cinta ilahi, pengabdian total, dan relasi personal dengan Tuhan—beresonansi kuat dengan praktik keagamaan masyarakat Hindu Bali. Pemahaman Ketuhanan yang bersifat berlapis dalam <em>Bhagavata Purana</em> juga sejajar dengan konsep Ketuhanan dalam tradisi Bali, di mana Ida Sang Hyang Widhi Wasa hadir melalui berbagai manifestasi lokal. Temuan ini menggarisbawahi pentingnya pengkajian intertekstual antara teks suci Hindu klasik dengan ekspresi spiritual lokal dalam rangka membangun teologi Hindu kontekstual yang dinamis dan relevan bagi masyarakat Nusantara.</p> 2024-10-29T00:00:00+07:00 Copyright (c) https://jurnal.ekadanta.org/index.php/sruti/article/view/618 Representasi Nilai-Nilai Sosial dan Kultural dalam Tradisi Nyeeb Di Desa Tajun 2025-04-08T23:40:19+07:00 Ni Kadek juliati kadekjuliati89@gmail.com <p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p>Tradisi <em>Nyeeb</em>, yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Tajun, merupakan ritual yang tidak hanya memperhitungkan kesakralan upacara, tetapi juga menyimpan beragam nilai sosial dan kultural yang mendalam. Berdasarkan hal tersebut peneliti merumuskan permasalahan yaitu Bagaimana proses pelaksanaan Tradisi <em>Nyeeb</em> di Desa Tajun?, Bagaimana bentuk ekpresi sosial yang muncul dalam pelaksanaan Tradisi <em>Nyeeb</em> di Desa Tajun?, Apa makna sosial dan kultural dari Tradisi <em>Nyeeb</em> bagi masyarakat Desa Tajun, terutama dalam konteks kebersamaan dan solidaritas masyarakat?. Metode penelitian ini berfokus pada pendekatan kualitatif dan pendekatan etnografi untuk menjelajahi dan menganalisis nilai-nilai sosial dan kultural yang terdapat dalam Tradisi <em>Nyeeb</em> di Desa Tajun. Dengan mengadopsi metode etnografi, penelitian ini bertujuan untuk menangkap kompleksitas interaksi sosial dan simbolisme budaya yang terkait dengan tradisi tersebut. Data dikumpulkan melalui tiga cara utama: observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi, yang semuanya menyediakan konteks dan pemahaman yang mendalam mengenai proses ritual. Proses analisis dilakukan secara interaktif dan bersiklus untuk memastikan keakuratan dan kedalaman temuan, berkontribusi pada pemahaman yang lebih luas tentang peran tradisi dalam menjaga identitas budaya dan nilai-nilai sosial di tengah perubahan sosial yang terus berlangsung . Selain itu, hasil studi menunjukkan bahwa proses pelaksanaan Tradisi <em>Nyeeb</em> di Desa Tajun adalah, Pemilihan Tempat Pelaksanaan, Waktu Pelaksanaan, Tahapan Pelaksanaan Tradisi <em>Nyeeb</em>. Bentuk ekpresi sosial yang muncul dalam pelaksanaan Tradisi <em>Nyeeb</em> di Desa Tajun, meliputi Partisipasi Komunitas, Penguatan Identitas dan Kebersamaan, Konsekuensi Sosial dan Spiritual. Makna sosial dan kultural dari Tradisi <em>Nyeeb</em> bagi masyarakat Desa Tajun, terutama dalam konteks kebersamaan dan solidaritas masyarakat, meliputi Kebersamaan dan Solidaritas dalam Masyarakat, Budaya dan Kearifan Lokal, Dimensi Spiritual dan Sosial, Peran dalam Menghadapi Perubahan Sosial.</p> 2024-10-29T00:00:00+07:00 Copyright (c) https://jurnal.ekadanta.org/index.php/sruti/article/view/619 Konsep Rwa Bhineda Sebagai Paradigma Pluralisme Dalam Keberagaman Agama di Bali 2025-04-09T15:21:47+07:00 Selvyani selpi_samadhi@yahoo.com <p>Rwa Bhineda merupakan konsep filosofis dalam tradisi Hindu Bali yang menekankan dualitas sebagai hakikat keseimbangan kosmis, seperti terang dan gelap, baik dan buruk, serta sakral dan profan. Dalam konteks sosial keagamaan, Rwa Bhineda tidak hanya merepresentasikan dualisme ontologis, tetapi juga mencerminkan etos toleransi dan harmoni dalam keberagaman. Artikel ini mengkaji bagaimana konsep Rwa Bhineda berfungsi sebagai paradigma pluralisme dalam lanskap keberagaman agama di Bali yang plural dan dinamis. Dengan menggunakan pendekatan teologi kontekstual dan metodologi kualitatif-hermeneutik, artikel ini menelusuri pemaknaan simbolik dan praksis budaya Rwa Bhineda dalam relasi antarumat beragama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Bali, melalui pemahaman terhadap Rwa Bhineda, mengembangkan semangat hidup berdampingan secara inklusif dan tidak antagonistik, bahkan terhadap kelompok agama minoritas. Konsep ini tidak merelatifkan kebenaran religius, tetapi mengafirmasi keberadaan nilai-nilai spiritual lain sebagai bagian dari sistem keseimbangan universal. Selain itu, implementasi Rwa Bhineda dalam ruang publik – baik melalui ritual, hukum adat, maupun pendidikan budaya – membentuk landasan etis bagi pluralisme yang berakar pada kearifan lokal. Dengan demikian, Rwa Bhineda bukan hanya warisan filosofis, tetapi juga paradigma etis-spiritual yang relevan untuk membangun kohesi sosial dalam masyarakat multikultural. Kajian ini merekomendasikan integrasi nilai-nilai Rwa Bhineda dalam kebijakan publik dan dialog lintas agama untuk memperkuat pluralisme yang kontekstual dan berkelanjutan di Bali.</p> 2024-10-29T00:00:00+07:00 Copyright (c) https://jurnal.ekadanta.org/index.php/sruti/article/view/620 Teologi Tri Hita Karana Dalam Praktik Kehidupan Sosial-Ekologis Masyarakat Hindu Bali 2025-04-09T15:26:29+07:00 Iluh Ayu Narti ayunarti43@gmail.com <p><em>Tri Hita Karana</em> merupakan kerangka <em>teologis</em> dan <em>kosmologis</em> yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (<em>Parahyangan</em>), sesama manusia (<em>Pawongan</em>), dan lingkungan alam (<em>Palemahan</em>) dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali. Studi ini bertujuan untuk menggali secara mendalam bagaimana prinsip-prinsip <em>Tri Hita Karana</em> tidak hanya dipahami sebagai ajaran normatif, tetapi juga diwujudkan secara praksis dalam tindakan sosial dan <em>ekologis</em> masyarakat Hindu Bali. Penelitian ini menggunakan pendekatan <em>kualitatif</em> dengan metode studi pustaka dan <em>etnografi</em> partisipatif, termasuk wawancara mendalam dengan tokoh adat, pemuka agama, dan masyarakat di wilayah pedesaan dan perkotaan di Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa <em>Tri Hita Karana</em> berperan sentral dalam membentuk <em>etos</em> kolektif masyarakat Bali, yang tercermin dalam upacara keagamaan, sistem <em>subak</em> sebagai warisan budaya dunia, <em>gotong royong</em> dalam kegiatan sosial, serta pelestarian hutan dan mata air suci (<em>taksu</em>). Dimensi <em>teologis</em> <em>Tri Hita Karana</em> menciptakan relasi sakral antara manusia dan lingkungannya, di mana tindakan <em>ekologis</em> tidak hanya dilihat sebagai kewajiban moral tetapi juga sebagai bagian dari <em>dharma</em> (kebenaran <em>kosmis</em>). Selain itu, studi ini menunjukkan bahwa praktik <em>Tri Hita Karana</em> berkembang secara kontekstual, menjawab tantangan <em>globalisasi</em> dan kerusakan lingkungan dengan merumuskan <em>ekoteologi</em> yang khas Bali. Penelitian ini menyimpulkan bahwa <em>Tri Hita Karana</em> bukan sekadar filosofi hidup, melainkan menjadi sistem <em>teologi praksis</em> yang membimbing transformasi sosial dan <em>ekologis</em> secara berkelanjutan. Implikasinya penting untuk pengembangan model pembangunan berbasis budaya lokal dan spiritualitas <em>ekologis</em>, baik dalam tataran kebijakan maupun pendidikan.</p> 2024-10-29T00:00:00+07:00 Copyright (c) https://jurnal.ekadanta.org/index.php/sruti/article/view/621 Revitalisasi Nilai-Nilai Hindu dalam Tradisi Nyepi: Strategi Ketahanan Budaya dan Spiritual di Tengah Krisis Global 2025-04-11T21:37:45+07:00 I Nengah Mirta Hardianta mirtahardianta07@gmail.com <p>Tradisi Nyepi sebagai perayaan tahun baru Saka dalam agama Hindu Bali bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga memuat nilai-nilai filosofis, <em>teologis</em>, dan <em>sosiokultural</em> yang mendalam. Dalam konteks krisis global seperti <em>perubahan iklim</em>, <em>pandemi</em>, dan degradasi nilai-nilai spiritual, Nyepi menjadi titik reflektif sekaligus strategi ketahanan budaya dan spiritual masyarakat Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana nilai-nilai Hindu yang terkandung dalam Nyepi—seperti <em>tapa</em>, <em>brata</em>, <em>yadnya</em>, dan <em>moksha</em>—direvitalisasi secara kontekstual sebagai respons terhadap tantangan global kontemporer. Metode yang digunakan adalah pendekatan <em>kualitatif</em> dengan analisis <em>hermeneutik</em> dan <em>fenomenologis</em>. Data dikumpulkan melalui studi pustaka, observasi partisipatif selama rangkaian Nyepi (Tawur Agung, Catur Brata Penyepian, dan Ngembak Geni), serta wawancara dengan pemuka agama, budayawan, dan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nyepi telah mengalami perluasan makna dari sekadar ritual keagamaan menjadi ruang kontemplatif kolektif yang membentuk kesadaran <em>ekospiritual</em>. Nilai hening, puasa, dan isolasi sukarela dalam Nyepi menjadi praktik resistensi terhadap budaya konsumtif dan kebisingan global, sekaligus mendorong solidaritas spiritual lintas komunitas. Revitalisasi nilai Hindu dalam Nyepi juga tampak pada adaptasi ritual melalui media digital, kampanye lingkungan, hingga integrasi dalam <em>kurikulum</em> pendidikan. Strategi ini tidak hanya memperkuat identitas budaya Bali, tetapi juga menawarkan model <em>ketahanan spiritual</em> yang inklusif dan berkelanjutan. Simpulannya, Nyepi merupakan bentuk <em>spiritual ecology</em> yang merefleksikan relasi harmonis antara manusia, alam, dan transendensi. Ia menjadi model penting dalam merumuskan <em>teologi publik</em> Hindu Bali yang relevan dengan era krisis global.</p> 2024-10-29T00:00:00+07:00 Copyright (c) https://jurnal.ekadanta.org/index.php/sruti/article/view/625 Ritual Mecaru sebagai Upaya Harmonisasi Kosmis: Tinjauan Ekoteologi Hindu 2025-04-11T22:47:06+07:00 Kadek Suryani Suryaniwoke27@gmail.com <p>Ritual <em>Mecaru</em> dalam tradisi Hindu Bali merupakan bentuk pelaksanaan yadnya yang bertujuan untuk menetralisir kekuatan negatif serta mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan alam semesta. Dalam perspektif <em>ekoteologi Hindu</em>, <em>Mecaru</em> tidak hanya dilihat sebagai aktivitas ritual, tetapi sebagai ekspresi teologis atas kesadaran kosmis yang berakar pada prinsip-prinsip <em>Tri Hita Karana</em> dan ajaran <em>Rwa Bhineda</em>. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah makna <em>Mecaru</em> sebagai strategi harmonisasi kosmis dan kontribusinya terhadap pengembangan spiritualitas ekologis dalam konteks kontemporer. Pendekatan yang digunakan adalah <em>kualitatif</em> dengan metode analisis <em>hermeneutik</em>, <em>etnografi partisipatif</em>, dan studi pustaka. Data diperoleh melalui observasi terhadap pelaksanaan <em>Mecaru</em> di berbagai tingkatan (nista, madya, utama) serta wawancara dengan pemangku, sulinggih, dan tokoh masyarakat adat di Bali. Temuan menunjukkan bahwa <em>Mecaru</em> memiliki struktur simbolik dan <em>kosmologis</em> yang kompleks, yang merepresentasikan relasi timbal balik antara manusia, makhluk halus (<em>butakala</em>), dan kekuatan adikodrati. Tindakan persembahan (<em>upakara</em>) dalam <em>Mecaru</em> mencerminkan etika <em>ekosentris</em> yang menempatkan alam sebagai entitas sakral yang layak dihormati dan dipulihkan. Ritual ini juga berfungsi sebagai mekanisme sosial dan spiritual untuk mengatasi ketegangan ekologis, baik yang bersifat fisik (pencemaran, deforestasi) maupun <em>metafisik</em> (gangguan energi negatif). Dalam konteks <em>ekoteologi</em>, <em>Mecaru</em> dapat dipahami sebagai bentuk <em>liturgi ekologis</em> yang menegaskan hubungan transendental antara manusia dan alam. Penelitian ini menyimpulkan bahwa <em>Mecaru</em> merupakan praktik teologi ekologis yang relevan sebagai model etika lingkungan berbasis kearifan lokal Hindu Bali dalam menghadapi krisis ekologis global.</p> 2024-10-29T00:00:00+07:00 Copyright (c) https://jurnal.ekadanta.org/index.php/sruti/article/view/630 Tinjauan Semiotika Makna Simbolik Warna Dalam Ritual Hindu di Bali 2025-04-23T18:16:36+07:00 Komang Wiyani komang01wiyani@gmail.com <p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p>Warna memiliki peran fundamental dalam struktur simbolik ritual Hindu di Bali. Setiap warna yang digunakan dalam atribut ritual seperti <em>wastra</em>, <em>banten</em>, dan dekorasi tempat suci memuat pesan-pesan simbolik yang tidak hanya bersifat estetis, tetapi juga <em>teologis</em>, <em>kosmologis</em>, dan <em>sosiokultural</em>. Studi ini bertujuan untuk mengkaji makna simbolik warna melalui pendekatan <em>semiotika</em> dalam konteks ritual Hindu Bali, dengan fokus pada sistem tanda yang merepresentasikan nilai-nilai spiritual, etika, dan struktur kosmos menurut ajaran Hindu. Penelitian ini menggunakan pendekatan <em>kualitatif</em> dengan metode analisis <em>semiotik</em> Charles Sanders Peirce dan Roland Barthes, serta pengumpulan data melalui observasi lapangan, dokumentasi visual, dan wawancara mendalam dengan pemangku, seniman ritual, dan tokoh agama. Hasil kajian menunjukkan bahwa warna-warna seperti putih, merah, hitam, kuning, dan biru memiliki makna simbolik yang berkaitan dengan arah mata angin, manifestasi dewa, serta unsur-unsur dalam <em>pancamahabhuta</em> dan <em>pancadewata</em>. Simbolisasi warna ini bukan hanya penanda visual, tetapi juga berfungsi sebagai <em>kode kultural</em> yang mengkomunikasikan relasi antara manusia, alam, dan yang transenden. Analisis <em>semiotik</em> menunjukkan bahwa sistem warna dalam ritual Hindu Bali merupakan bagian dari sistem representasi sakral yang mengorganisasi pengalaman religius kolektif. Warna menjadi medium <em>transendensi</em> yang menghubungkan realitas profan dengan realitas sakral. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemaknaan simbolik terhadap warna dalam konteks ritual tidak hanya memperkuat identitas budaya dan spiritual umat Hindu Bali, tetapi juga menjadi bagian dari praktik <em>teologi visual</em> yang memperkaya studi agama dari perspektif <em>interdisipliner</em>.</p> 2024-10-30T00:00:00+07:00 Copyright (c) https://jurnal.ekadanta.org/index.php/sruti/article/view/636 Doa dalam Tradisi Hindu Bali: Fungsi, Struktur, dan Makna Teologisnya 2025-04-26T19:49:02+07:00 Desak Made Paramita madedesak51@gmail.com <p>Dalam tradisi Hindu Bali, doa merupakan unsur sentral dalam pelaksanaan ritual keagamaan maupun dalam praktik spiritual sehari-hari. Ia berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara manusia dengan kekuatan adikodrati, serta sebagai sarana aktualisasi kesadaran religius yang bersifat personal maupun komunal. Studi ini bertujuan untuk mengkaji fungsi, struktur linguistik, dan makna <em>teologis</em> doa dalam konteks praktik keagamaan Hindu Bali, baik yang disampaikan dalam bahasa Sanskerta, Kawi, maupun Bali. Metode yang digunakan adalah pendekatan <em>kualitatif</em> dengan analisis <em>hermeneutik</em>, <em>fenomenologis</em>, dan linguistik struktural. Data diperoleh melalui dokumentasi teks doa dari lontar-lontar suci (seperti <em>Lontar Tutur Aji Sanghyang Atma</em> dan <em>Lontar Tutur Bhuwana Kosa</em>), observasi terhadap pelaksanaan doa dalam ritual (seperti piodalan, pujawali, dan nyastra), serta wawancara dengan sulinggih, pemangku, dan umat. Temuan menunjukkan bahwa doa dalam Hindu Bali memiliki struktur tripartit: pembukaan (<em>manggala</em>), inti permohonan (<em>utama</em>), dan penutup (<em>pamuput</em>), yang masing-masing mengandung unsur pujian (<em>stuti</em>), pengakuan (<em>prarthana</em>), dan penyatuan batin (<em>yoga</em>). Fungsi doa tidak terbatas pada dimensi spiritual, tetapi juga mencakup fungsi pedagogis, sosial, dan kosmologis. Doa memperkuat kesadaran etis, mempererat solidaritas antarumat, serta menegaskan posisi manusia dalam tatanan kosmos yang harmonis. Dalam perspektif <em>teologi Hindu Bali</em>, doa dipahami sebagai wujud <em>bhakti</em>, <em>karma</em>, dan <em>jnana</em> yang menyatu dalam pengalaman religius yang utuh. Simpulannya, doa adalah ekspresi spiritual yang kompleks, yang merepresentasikan sistem kepercayaan Hindu Bali secara menyeluruh dan mencerminkan integrasi antara teks suci, tubuh, dan kosmos</p> 2024-10-26T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2024 https://jurnal.ekadanta.org/index.php/sruti/article/view/638 Upacara Manusa Yajna dalam Agama Hindu: Kajian Fungsi dan Makna Sosial 2025-04-27T12:16:16+07:00 Ni Nyoman Ayu Oktarini potterokta253@gmail.com <p style="font-weight: 400;"><em>Tujuan dari Agama Hindu yaitu “Mokshartham Jagathitaya Ca Iti Dhrama”. Untuk mencapai tujuan akhir dari Agama Hindu, maka dari itu Agama Hindu memiliki tiga kerangka dasar yang dapat dijadikan penuntun untuk umatnya agar tetap berada di jalan kebenaran dan bisa mencapai Moksha. Dimana tiga kerangka dasar tersebut terdiri dari Tattwa (Filsafat), Susila (Etika), dan Upacara (Ritual). Ketiga kerangka dasar ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena ketiganya ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dalam Agama Hindu tentu saja ritual atau upacara keagamaan sangat kental untuk dilaksanakan. Tentu saja ada beberapa kesenjangan dalam umat Hindu dalam melaksanakan upacara keagamaan seperti biaya ekonomi. Tujuan utama dalam melaksanakan upacara keagamaan yaitu untuk membayar tiga hutang yang disebut Tri Rna melalui Panca Yajna (lima korban suci yang tulus ikhlas). Makna dari umat Hindu melaksanakan upacara keagamaan yaitu sebagai bentuk ucap syukur umat Hindu kepada Tuhan, menyucikan jiwa dan pikiran manusia agar lebih bijaksana, menciptakan kehidupan yang harmonis, menghubungkan diri dengan Tuhan dan lain sebagainya. Pada artikel ini menggunakan medote penelitian metode deskriptif kualitatif.</em></p> 2024-10-30T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2024 https://jurnal.ekadanta.org/index.php/sruti/article/view/639 Peran Api Dalam Tradisi Hindu Bali 2025-04-27T17:19:32+07:00 Ni Kadek Sunarti nikadeksunarti973@gmail.com <p><span lang="EN-US">Dalam tradisi Hindu di Bali, api (<em>Agni</em>) memiliki peran penting dalam menghubungkan antara manusia dan Tuhan. Api digunakan dalam berbagai upacara keagamaan seperti <em>yadnya </em>untuk mengirimkan doa atau persembahan kepada para dewa. Selain itu, api memiliki makna spiritual yang penting dalam upacara keagamaan. Salah satu peran utama api adalah untuk menghubungkan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Api juga memiliki fungsi sebagai pengusir hal negatif yang mengganggu keseimbangan dan kesucian upacara. Selain itu, api juga dipercaya mampu membersihkan segala bentuk kekotoran, baik itu secara fisik maupun bentuk spiritual. Api juga dipandang sebagai manifestasi dari <em>Sang Hyang</em> <em>Agni</em> salah satu dewa utama dalam agama Hindu yang megendalikan elemen api. </span></p> 2024-10-30T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2024 https://jurnal.ekadanta.org/index.php/sruti/article/view/640 Esensi Relief Pada Pura Masyarakat Hindu 2025-04-27T17:21:57+07:00 Wayan Ayuniani wayanayuniani857@gmail.com <p style="font-weight: 400;">Relief dalam kehidupan masyarakat Hindu, khususnya di Bali yang merupakan elemen vital dalam arsitektur pura. Keberadaan dan fungsi relief sebagai ornamen pada bangunan Pura, berperan tidak hanya sebagai dekorasi, tetapi juga sebagai sarana komunikasi visual yang menyampaikan ajaran agama Hindu, nilai-nilai budaya, dan makna spiritual. Penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif, dengan pengumpulan data melalui observasi serta kajian artikel, jurnal, dan buku yang relevan dalam konteks penelitian ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa relief di Pura terbagi menjadi beberapa kategori, seperti relief naratif, dekoratif, simbolis, dan kosmologi, yang masing-masing memiliki fungsi estetika dan edukatif yang signifikan. Selain itu, relief juga berperan dalam pengembangan moralitas dan spiritualitas masyarakat Hindu dengan menyampaikan kisah-kisah dari kitab suci dan mitologi Hindu. Relief di pura berfungsi sebagai alat pendidikan yang esensial dalam mengenalkan nilai-nilai agama kepada generasi muda serta memperkuat hubungan spiritual umat dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan demikian, relief di pura tidak hanya mencerminkan seni dan budaya, tetapi juga berfungsi sebagai sarana pelestarian warisan budaya Hindu yang sarat makna dan nilai-nilai luhur.</p> 2024-10-30T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2024 https://jurnal.ekadanta.org/index.php/sruti/article/view/641 Parahyangan: Konsep menjaga kelestarian lingkungan dalam Hindu 2025-04-29T11:10:17+07:00 Ketut Marta Setiawati ketutmartastw@gmail.com <p style="font-weight: 400;"><em>Pelestarian lingkungan kini menjadi isu global yang semakin mendesak akibat kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Ajaran dan filosofi spiritual dalam agama Hindu menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan harmoni antara manusia dan alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pandangan Hindu terkait pelestarian lingkungan serta penerapan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, studi ini mencakup analisis literatur dari kitab suci Hindu, serta observasi partisipatif dalam ritual keagamaan. Konsep-konsep inti seperti Tri Hita Karana, Ahimsa, dan Karma Yoga dianalisis untuk mengungkap relevansi ajaran Hindu dalam mendukung pelestarian lingkungan di era modern. Hasilnya menunjukkan bahwa ajaran Hindu menyediakan landasan spiritual yang kokoh untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan dan bisa dijadikan pedoman dalam merumuskan kebijakan lingkungan berbasis kearifan lokal. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan sebagai bagian dari pengabdian spiritual dan tanggung jawab moral.</em></p> 2024-10-30T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2024 https://jurnal.ekadanta.org/index.php/sruti/article/view/642 Air Dalam Agama Hindu: Studi Tentang Konsep Agama Tirtha Di Bali 2025-04-29T11:12:34+07:00 Ni Made Dwita Sari, S.Pd. saridwita826@gmail.com <p style="font-weight: 400;"><em>Air dalam agama Hindu memiliki makna yang sangat penting, baik sebagai elemen fisik maupun spiritual. Artikel ini membahas peran air sebagai simbol pemurnian dan kesucian, yang digunakan dalam berbagai ritual dan upacara keagamaan Hindu. Air dianggap memiliki kekuatan untuk membersihkan tubuh dan jiwa dari dosa dan kekotoran. Dengan demikian, air bukan hanya elemen alam, tetapi juga medium yang menghubungkan umat Hindu dengan yang ilahi, menjadikannya unsur esensial dalam kehidupan keagamaan dan spiritual. Air merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam suatu makhluk hidup mengingat, air menjadikan segala jenis makhluk hidup dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Artikel ini mengeksplorasi peran air dalam berbagai upacara keagamaan, mulai dari ritual penyucian diri hingga persembahan kepada dewa-dewi. Air dianggap mampu menghilangkan dosa dan membersihkan jiwa, serta merupakan elemen penting dalam ritual-ritual utama seperti puja dan mandi suci (snana). Artikel ini menekankan bahwa air dalam agama Hindu tidak hanya berfungsi sebagai unsur alamiah, tetapi juga menjadi sarana spiritual untuk mencapai kesejahteraan rohani dan hubungan dengan Tuhan.</em></p> 2024-10-30T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2024 https://jurnal.ekadanta.org/index.php/sruti/article/view/644 Etika Hindu dalam Tantra guna menciptakan hubungan Harmonis dalam Kehidupan Masyarakat 2025-04-29T11:17:51+07:00 Ni Made Dwi Purwati, S.Pd., M.Pd dwipurwati1234@gmail.com <p>Etika merupakan prilaku yang sudah pasti dimiliki oleh manusia. Etika terkait erat dengan moralitas manusia, karena manusia diciptakan sebagai makhluk sempurna yang mempunyai akal dan pikiran, sehingga masalah Etika menjadi sesuatu yang perlu diatur. Ajaran etika dalam Tantra melibatkan seperangkat prinsip moral dan nilai-nilai yang mengatur perilaku dan praktik spiritual para praktisi Tantra. Bagi Tantra, energi terbesar adalah energi seksual dan organ seksual mewakili kekuatan-kekuatan kosmik yang disimbolkan dengan Lingga dan Yoni. Etika Hindu memberikan landasan etis yang kuat bagi individu untuk hidup dengan bijaksana, bertanggung jawab, dan memiliki perhatian yang luas terhadap kepentingan orang lain dan alam semesta secara keseluruhan. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah; bagaimana pandangan Hindu dan Tantra terhadap etika.</p> 2024-10-30T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2024